Sabtu, 12 April 2014

contoh paper ekonomi internasional


TUGAS PAPER EKONOMI INTERNASIONAL

HAMBATAN TARIF DAN NON-TARIF TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL  DI INDONESIA


OLEH :


                                          

   

JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2013
I.       PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdagangan bebas artinya tidak adanya campur tangan dari pemerintah yang menghambat kegiatan perdagangan baik yang dilakukan oleh antar individu maupun antar perusahaan-perusahaan yang ada di dalam negara-negara. Dengan adanya sistem perdagangan bebas ini maka perdagangan antar negara tidak lagi disulitkan oleh urusan birokrasi. Dibentuknya perdagangan bebas ialah untuk meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan negara. Dengan adanya perdagangan bebas diharapkan negara-negara dapat dengan mudah melakukan kegiatan ekonominya. Ide membentuk perdagangan bebas ini ialah karena seringnya perdagangan internasional terhambat oleh masalah pajak, berbagai biaya tambahan, dan masih banyak hambatan-hambatan lainnya.
Manfaat dari perdagangan bebas yang dapat dilihat secara langsung ialah keberagaman barang-barang yang tersedia. Dengan adanya barang-barang yang beragam diharapkan rakyat akan sejahtera karena akan mempunyai banyak pilihan produk-produk terbaik yang mereka butuhkan. John Stuart Mill berpendapat bahwa perdagangan bebas memperbesar dan memperluas cakupan pasar, dan karena itu produktivitas pun meningkat. Dengan meningkatnya produktivitas, meningkat pula standar hidup warga sebuah negara. Namun diantara manfaat-manfaat tersebut, kehadiran pasar bebas justru menyulitkan bagi beberapa negara terutama negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang biasanya sulit bersaing untuk menghasilkan produk-produk yang berkualitas dengan negara-negara yang lebih maju. Selain itu negara-negara berkembang juga kesulitan dalam masalah persaingan harga. Padahal perdagangan bebas harusnya dapat meningkatkan daya saing tiap-tiap negara. Hal ini terlihat seperti tidak adanya kesiapan dari negara-negara berkembang dalam rangka menghadapi tren pasar bebas. Oleh karena hal tersebut penulis merasa tertarik untuk meneliti mengapa perdagangan bebas terlihat seperti tidak mencapai tujuannya dan mengapa beberapa negara terutama negara berkembang seperti disulitkan dengan adanya perdagangan bebas ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa konsep perdagangan bebas tidak selalu baik. Dalam sistem perdagangan bebas, negara yang memiliki modal yang kuat dan memiliki kekuatan politik yang besarlah yang dapat menang dalam persaingan di zona perdagangan bebas tersebut. Bisa saja kita katakan bahwa perdagangan bebas belum mencapai tujuannya. Tidak ada Win-win Potition melainkanZero Sum Game, dimana perdagangan bebas hanya memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja sementara pihak-pihak lainnya mendapatkan kerugian.
Pada sekitar tahun 1990an negara-negara di kawasan Asia Pasifik awalnya menyambut baik kehadiran perdagangan bebas hingga akhirnya melahirkan Asean Free Trade Area (AFTA) dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Namun ternyata banyak negara anggota yang mengalami kesulitan dengan adanya perdagangan bebas ini seperti kesulitan masalah neraca pembayaran (catatan yang berisi pembayaran dan penerimaan dari luar negeri) sehingga mulailah negara-negara tersebut mengurangi impor. Dengan adanya pembatasan impor ini artinya negara telah menentang prinsip perdagangan bebas demi kepentingan nasional.
Pada tanggal 28 Februari 2009 lalu bersama sejumlah menteri Perdagangan ASEAN, Australia dan New Zaeland, Indonesia telah menandatangani Persetujuan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru, atau AANZ-FTA (Asean, Australia, New Zealand Free Trade Area). Padahal jika dianalisis perjanjian ini justru akan merugikan bagi Indonesia. Sebab sebelum adanya perjanjian ini, neraca perdagangan (catatan yang berisi nilai barang-barang yang diekspor maupun diimpor oleh suatu negara) non migas Indonesia, baik dengan Australia maupun dengan New Zealand itu selalu negatif. Artinya tanpa perdagangan bebas pun Indonesia lebih banyak mengimpor barang dari kedua negara tersebut. Jika tarif diturunkan menjadi nol persen maka dapat dipastikan ketergantungan pada impor akan semakin tinggi. Akibat lain dari perjanjian tersebut ialah sektor industri pertanian yang saat ini sedang tidak cukup kuat kedudukannya akibat maraknya produk-produk impor akan semakin terpuruk akan hal tersebut.
Hal di atas merupakan beberapa contoh bukti bahwa perdagangan bebas sebenanya tidak dapat menimbulkan kesejahteraan di antara negara-negara melainkan menimbulkan kesulitan bahkan keterpurukan. Apalagi bagi negara-negara berkembang. Dengan adanya perdagangan bebas, negara-negara yang maju akan dapat mengeksploitasi negara-negara berkembang dengan lebih mudah. Negara-negara maju juga dapat merusak industri lokal negara berkembang, dan juga membatasi standar kerja dan standar sosial. Tentu saja ini merupakan kerugian besar bagi negara berkembang.
Selain itu perdagangan bebas juga menyebabkan lebih kepada dependensi ketimbang interdependensi. Negara-negara maju sudah pasti dapat menghasilkan produk-produk dengan kualitas yang baik yang tidak dapat diproduksi oleh negara-negara berkembang. Seperti Jepang dengan produk sepeda motor atau mobilnya. Negara berkembang seperti Indonesia yang belum mampu menghasilkan produk sepeda motor atau mobil yang kualitasnya baik dan terkenal sebagaimana yang telah dihasilkan oleh Jepang, tentu hanya akan puas menjadi konsumen dan pada akhirnya menjadi negara yang konsumtif. Disini tampak contoh bagaimana bergantungnya negara berkembang dengan negara maju.
Dampak buruk dari perdagangan bebas yang lain adalah banyaknya masyarakat yang lebih memilih produk buatan luar negeri ketimbang produk hasil dari negaranya sendiri. Ini sangat merugikan dan dapat menyebabkan pengusaha-pengusaha lokal mengalami kesulitan jika tidak pandai-pandai bersaing dalam zona perdagangan bebas tersebut. Lihat saja pada saat sekarang ini kita akan dapat dengan mudah menemukan barang-barang bertuliskan “Made in China”, di pusat perbelanjaan, pasar, atau di rumah kita masing-masing.
Jika pasar dalam negeri lebih diramaikan oleh barang-barang hasil dari luar negeri apalagi dengan produk yang lebih berkualitas dan harga murah maka produsen akan terdorong untuk beralih profesi menjadi importir atau pedagang saja misalnya karena merasa tidak mampu bersaing. Hal ini akan membuat negara-negara tidak akan berkembang. Jika tidak dapat menghasilkan produk-produk sendiri negara tidak akan mandiri dan terus bergantung pada negara lain yang lebih maju sehingga ia sendiri tidak akan pernah maju.
Tidak hanya itu. Sistem perdagangan bebas juga merugikan bagi industri-industri kecil. Kembali lagi kepada ketidakmampuan dalam bersaing dengan industri-industri yang lebih besar yang dapat menghasilkan produk dengan kualitas terjamin dan harga yang terjangkau. Pasar tentu akan lebih memilih produk yang terbaik dengan harga yang relatif murah. Jika industri-industri kecil tidak mampu bersaing di arena perdagangan bebas maka dapat dipastikan industri-industri tersebut akan tersingkir dan mengalami kepailitan. Hal ini bisa saja menimbulkan masalah lain lagi seperti pengangguran.
Penjelasan-penjelasan di atas semakin menekankan bahwa sistem perdagangan bebas tidak dapat mensejahterakan masyarakat. Namun sebenarnya kerugian-kerugian dari adanya perdagangan bebas tidak hanya dirasakan oleh negara-negara berkembang atau yang berperekonomian lemah. Negara-negara maju juga turut merasakannya. Seperti misalnya pendapatan devisa yang menurun. Selain itu jugajuga menimbulkan persaingan serendah mungkin yang menyebabkan standar hidup dan keamanan yang lebih rendah. Akan tetapi kerugian-kerugian yang dialami negara-negara maju ini juga merupakan kerugian yang dialami negara-negara berkembang. Jadi tetap saja negara berkembang lebih dirugikan sebab kerugian-kerugian yang dialami negara maju tidaklah sebesar kerugian yang dialami oleh negara-negara berkembang. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa perdagangan bebas tidaklah membawa kesejahteraan terutama bagi negara berkembang. Maka tidak salah jika kita mengatakan bahwa sistem perdagangan bebas sampai hari ini belum mencapai tujuannya.
B.Tujuan
Tujuan dari pembuatan paper kami adalah untuk mengetahui apa efek dari berlakunya perdagangan bebas terhadap perekonomian disuatu negara , apakah negara tersebut dapat menerima atau tidak ?, dan juga apakah penerapan tarif dan nontarif terhadap barang dari perdagangan bebas dapat melindungi dan memberi keuntunan terhadap negara yang di tuju atau negara yang mengirim barang tersebut.
II.    PEMBAHASAN
Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.
Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semuha hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.
Di Indonesia Hambatan perdagangan Internasional bertujuan melindungi neraca pembayaran dan industri dalam negeri terhadap persaingan luar negeri.



1.      Pengenaan tarif
Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas-batas territorial. Di indonesia tarif yang berlaku di indonesia adalah Ditinjau dari aspek asal komoditi, ada dua macam tariff, yakni tarif impor (import tariff), yakni pajak yang dikenakan untuk setiap omoditi yang diimpor dari negara lain; dan tarif ekspor (export tariff) yang merupakan pajak untuk suatu komoditi yang diekspor.
Ditinjau dari mekanisme penghitungannya, ada beberapa jenis tarif, yakni tarif spesifik, gabungan, dan tarif ad valorem. Tarif ad valorem (ad valorem tariffs) adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor (misalnya, suatu negara memungut tarif 25 persen atas nilai atau harga dari setiap barang yang diimpor). Sedangkan tarif spesifik (specific tarif) dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor (misalnya saja, pungutan tiga dolar untuk setiap barel minyak). Dan yang terakhir, tarif campuran (compound tariff) adalah gabungan dari keduanya.
Di Indonesia system tariff ini digunakan sebelum tahun 1991.  Misalnya bea masuk untuk: Semen : Rp 3.000 per ton, Sepatu : Rp 15.000 per pasang, Piring : Rp 500 per lusin, dan sebagainya.
Jenis-jenis tarif ditinjau dari aspek asal komoditi yaitu:
1.      Tarif impor (import tariff), yaitu pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain.
2.      Tarif ekspor (export tariff), yaitu pajak untuk suatu komoditi yang diekspor.
A.    Tarif impor
Tarif import adalah tarif yang diberlakukan terhadap barang barang yang mauk ke negara Indonesia , biasanya tarif import ini cukup tinggi supaya melindungi perusahaan – perusahaan dalam negri supaya tidak kalah bersaing.
B.     Tarif ekspor
Tarif ekspor adalah tarif yag di berlakukan terhadap barang barang yang akan dikirim ke negara lain, biasanya tarif ini sedikit supaya barang yag dikirm bisa cukup banyak.
Tarif dapat meningkatkan barang di negara pengimpor sehingga kalangan konsumen di negara pengimpor secara relatif merugi, sedangkan para produsen di negara pengimpor memperoleh keuntungan.Jadi tarif membawa biaya sekaligus manfaat.
Saat pemerintah mengenakan tarif sebesar 100% terhadap barang impor maka harga barang X langsung mengalami kenaikan dari 1 dolar menjadi 2 dolar. Konsumsi atas komoditi ini pun turun dari 70 unit menjadi 50 unit. Dalam waktu bersamaan, produsen domestik meningkatkan produksinya dari 10 unit menjadi 20 unit. Impor turun dari 60 unit menjadi 30 unit dan pemerintah menerima pemasukan sebesar 30 dolar dalam bentuk pajak impor. Hal ini menyebabkan surplus konsumen mengalami penurunan sebesar 60 dolar dan peningkatan surplus produsen sebesar 15 dolar. Dari total kerugian konsumen itu, 30 di antaranya diterima oleh pemerintah dalam bentuk pajak impor, kemudian 15 dolar lainnya diredistribusikan kepada para produsen barang X di dalam negeri dalam bentuk kenaikan rente atau surplus produsen, 15 dolar sisanya merupakan biaya proteksi (protection cost) atau biaya bobot mati (deadweight lost) yang merupakan bentuk kerugian yang harus ditanggung oleh perekonomian negara bersangkutan.
Dampak Pengenaan tarif
1.      Harga barang impor menjadi lebih mahal
Hal ini menyebabkan penurunan konsumsi oleh konsumen, produsen akan memproduksi barang dimana biaya marjinal (marginal cost) sama dengan harga setelah tarif.
2.      Meredistribusikan pendapatan dari konsumen domestik ke produsen domestik.
3.      Mereditribusikan pendapatan dari sektor ekonomi yang sumber dayanya melimpah ke sektor lain yang sumber dayanya kurang kompetitif.
Komponen produksi dari biaya proteksi atau biaya bobot mati akan mengalami kenaikan karena pemberlakuan tarif impor. Hal ini mengakibatkan adanya pengalihan sumber daya dari sektor ekonomi yang sumber dayanya melimpah (komoditi yang biasa diekspor) ke sektor lain yang sumber dayanya kurang kompetitif (komoditi yang lebih menguntungkan jika diimpor dari negara lain).
4.      Dampak negatif tarif berupa production distortion lost
Tarif menyebabkan produsen domestik memproduksi terlalu banyak barang sehingga tidak semuanya bisa dijual dengan harga yang menguntungkan
5.      Consumption distortion loss yaitu menyebabkan konsumen mengonsumsi barang terlalu sedikit.



Dengan adanya tarif, tingkat kesejahteraan negara yang bersangkutan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kondisinya di masa perdagangan bebas.
Penurunan kesejahteraan bersumber dari dua sebab, yakni :
a.       Perekonomian tidak lagi berproduksi pada titik yang memaksimumkan nilai pendapatan dan harga dunia
b.      Konsumen tidak dapat lagi berkonsumsi pada kurva indiferen tertinggi yang memaksimumkan kesejahteraan. Baik (a) maupun (b) diakibatkan oleh kenyataan bahwa konsumen dan produsen domestik menghadapi harga yang berbeda dengan harga dunia. Penurunan kesejahteraan (The Loss in Welfare) terjadi karena kegiatan produksi yang tidak efisien. Hal ini merupakan kondisi (a) padanan keseimbangan umum dari kerugian akibat piuh produksi (production distortion loss) yang telah dijelaskan dalam pendekatan keseimbangan parsial dalam bab ini dan melambangkan penurunan kesejahteraan sebagaiakibat dari konsumsi yang tidak efisien sehingga ini juga merupakan (b) padanan dari kerugian akibat piuh konsumsi (Consumption Distortion Loss)
Volume Perdagangan mengalami kemerosotan dengan adanya tarif. Volume serta nilai-nilai ekspor dan impor sama-sama turun segera setelah dilaksanakannya pengenaan tarif itu dibandingkan dengan sebelumnya ketika perdagangan masih berlangsung secara bebas.
Sekarang yang menjadi permasalahan tren adalah dimana disaat kebijakan import itu sangan dibutuhkan sehingga membuat tarif bea import dihapuskan , seperti contoh tarif import kedelai yang akhirnya dihapuskan karena mereka mengetahui bahwa kalau tidak mengimport kedelai makan pengusaha tahu tidak akan beroperasi lagi.
2.      Hambatan Non-Tarif yang diberlakukan Negara Indonesia
Pada pengertian umumnya hambatan non-tarif adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional. Tentu dalam mengikuti perdagangan dunia maupun ASEAN khususnya Negara Indonesia perlu melakukan suatu proteksi untuk melindungi produksi dalam negeri sehingga menyebabkan potensi perdagangan internasional berkurang. Oleh karena itu, Indonesia memberlakukan kebijakan-kebijakan non tariff sebagai hambatan mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional. Berikut akan dibahas kebijakan-kebijakan yang dilakukan Indonesia dalam menerapkan hambatan non tariff.
Hambatan non tariff yang dilakukan Indonesia antara lain:
1.      Pembatasan impor
Pembatasan impor yang diberlakukan Indonesia dapat dilihat pada pembatasan kuantitatif untuk impor daging sapi ini diberlakukan sebagai bagian dari serangkaian langkah untuk mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2014. Kuota untuk ternak hidup ini ditetapkan setiap tahun, dan secara terpisah untuk daging sapi dalam kotak dan didasarkan pada estimasi bandingan pasokan dengan kebutuhan. Kuota tersebut dialokasikan oleh kementrian perdagangan kepada importer dalam dua tahapan enam bulan: 1 januari – 30 Juni dan 1 Juli – 30 Desember, berdasarkan volume historis. Kuota untuk ternak hidup secara sistematis telah dikurangi dari 401.000 kepala di tahun 2011 menjadi 283.000 pada tahun 2012 dan 267.000 ditahun 2013. Untuk daging sapi kotak, kuota juga telah berkurang dari 100.000 ton pada 2011 menjadi 34.000 ton di tahun 2012 dan 32.000 ton ditahun 2013. Ini dihitung dalam berat total, total kuota berkurang dengan lebih dari 172.000 ton di tahun 2011 menjadi sesuai rencana yakni 80.000 ton ditahun 2013
2.      Peraturan kesehatan dan karantina
Dalam kebijakan ini, diberlakukan peryaratan impor untuk keamanan pangan, karantina, pembakuan dan pembubuhan etiket termasuk sertikasi halal diberlakukan menjadi lebih ketat.
3.      Peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu
Kebijakan ini lebih mengenak kepada impor. Impor pangan olahan mengharuskan baik registrasi produk maupun izin impor dari departemen kesehatan. Demikian pula impor produk hewani harus dengan persetujuan impor deptan yang disertai sertifikat halal dan berasal dari fasilitas pengolahan yang telah diperiksa oleh deptan.
4.      Penetapan harga pabean
Di Indonesia, harga pembelian minimum yang ditetapkan oleh BULOG untuk pembelian beras dan tebu di penggilingan beras dan tebu. BULOG hanya dapat membeli beras dan tebu dari petani pada saat harga pasar lebih rendah atau sama dengan harga pembelian resmi pemerintah (Harga Pembelian Pemerintah).
5.      Subsidi dan insentif ekspor
Kebijakan berikutnya adalah subsidi, subsidi seperti subsidi pupuk misalnya merupakan program utama yang dipakai pemerintah untuk memberikan dukungan anggaran kepada sektor pertanian. Subsidi dibayarkan kepada produsen pupuk yang wajib menjual pupuk dengan harga yang disubsidi kepada petani yang memenuhi syarat: mereka yang bertani atas lahan kurang dari 2 ha. Selain itu, subsidi benih juga merupaka arus transfer anggaran sektor pertanian kedua terpenting. Petani beras, jagung, kedelai dan gula adalah penerima bantuan utama tetapi beberapa subsidi semacam ini juga disediakan untuk para produsen kopi, karet alam, minyak sawit dan pisang.
6.      Tariff classification
Pengklasifikasian tariff ini termasuk peraturan bea cukai, seperti halnya tariff tunggal untuk pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk-produk turunannya yang terjadi pada tahun 2007, diganti dengan sistem variabel. Dibawah system yang variabel, tarif  pajak ekspor yang berlaku disesuaikan setiap bulan dan ditentukan dengan skala yang berubah-ubah, yang didasarkan pada harga internasional CPO di Rotterdam, pasar utama untuk minyak nabati . harga naik apabila harga internasional CPO naik, dan ikut turun apabila harga internasional turun. Hal ini diberlakukan untuk mengurangi insentif untuk meningkatkan ekspor waktu harga internasional naik. CPO dikenakan pajak yang lebih tinggi dari pada produk turunan, untuk mendorong proses pengolahan lanjutan didalam negeri.
3.      Bagaimana Kesiapan Indonesia Dalam Menyambut MEA ?
AEC (ASEAN Economic Community) adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN yang direncanakan akan tercapai pada tahun 2015 yang bertujuan untuk menjadikan ASEAN daerah yang stabil, makmur, dan berkompetitif tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. AEC memiliki empat pilar utama: 1) kawasan pasar tunggal dan basis produksi; 2) daerah ekonomi berkompetitif tinggi; 3) daerah dengan pembangunan ekonomi yang merata; dan 4) daerah yang terintegrasi penuh ke perekonomian global.
Menurut Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, persiapan Indonesia menghadapi AEC 2015 sebesar 72% dimana posisi Indonesia sebagai Chair dalam ASEAN pada tahun 2011 ini berdampak sangat baik untuk menyongsong terealisasinya ASEAN Economic Community dan hal ini membuat Indonesia masih memiliki andil dan peran yang cukup besar dalam perekonomian ASEAN. Dari dalam negeri sendiri, Indonesia telah berusaha untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara pemerintah pusat dengan daerah, pengusaha besar dengan UKM dan peningkatan dalam beberapa sektor yang mungkin masih harus didorong untuk meningkatkan daya saing. Hal ini berarti Indonesia masih memiliki andil dan peran yang cukup besar dalam perekonomian ASEAN.
Namun disisi lainnya, ada juga yang bisa menjadi penghambat dalam peran indonesia di ASEAN yaitu menurut penilaian beberapa institusi keuangan internasional, daya saing ekonomi Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand. Selain itu, percepatan investasi di Indonesia tertinggal bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Itu terjadi disebabkan buruknya infrasturuktur ekonomi dan korupsi yang merupakan isu paling hangat di Indonesia dan juga  menjadi penyebab merosotnya kepercayaan para investor terhadap Indonesia.
Melihat hal ini pemerintah tidak bisa menunda lagi untuk segera berbenah diri jika tidak ingin menjadi sekedar pelengkap di AEC 2015. Masyarakat bisnis Indonesia diharapkan mengikuti gerak, irama kegiatan diplomasi dan memanfaatkan peluang yang sudah terbentuk ini. Peluang yang sudah terbuka ini harus segera dimanfaatkan. Apabila kita terus menunda-nunda kita akan tertinggal karena proses ini juga diikuti oleh negara lain dan hal ini terus berjalan. Yang kita butuhkan sekarang dalam menghadapi AEC 2015 adalah menyelesaikan pekerjaan rumah bersama-sama dan pemerintah perlu menyosialisasikan rencana aksi menghadapi tantangan regional. Kerjasama antar negara menjadi tak ada artinya apabila masyarakat tidak terlibat.
Meskipun Indonesia mampu menjaga pertumbuhan ekonominya di angka 6% tapi ada beberapa hal yang perlu diantisipasi  dengan adanya AEC 2015 ini. Kita mulai dari  Elimination of Non-Tariff Barriers dan  Single Window. Tujuan dibentuknya AEC 2015 semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan negara-negara di kawasan ASEAN sedangkan perdagangan yang terjadi antara Negara anggota ASEAN saat ini masih belum efektif dengan adanya non- tariff barriers. Maka ASEAN perlu menerapkan peraturan bebas non-tariff barriers. Selain itu, memaksimalkan pertumbuhan ekonomi ASEAN juga dilakukan melalui kebijakan Single Window. Single Window adalah standarisasi dari proses dan prosedur perdagangan yang meliputi  pengintegrasian data dan informasi perdagangan sehingga mengurangi waktu dan biaya dalam bertransaksi. Melalui AEC 2015, kompetisi dan efisiensi dalam perdagangan meningkatkan produk dan tenaga kerja asing akan lebih fleksibel masuk ke tiap negara anggota ASEAN.
Antisipasi terhadap AEC 2015 sangat diperlukan, terutama di bidang pengembangan SDM, mengingat Elimination of Non-Tariff Barriers dan Single Window mengakibatkan tenaga kerja dari luar negeri akan lebih mudah bermigrasi ke Indonesia. Mereka (tenaga kerja asing) yang memiliki keahlian di atas keahlian SDM Indonesia, tentu akan mendapat  pekerjaan di perusahaan yang ada di Indonesia. Sulit bagi  kita bersaing dengan tenaga kerja asing jika kita tidak memiliki skill yang memadahi yang akan mengakibatkan pengangguran meningkat.
Indonesia dalam KTT ASEAN ke-21 di Phnom Penh tahun 2012 ditunjuk sebagai motor penggerak dalam mengintegrasikan kekuatan Asia Tenggara di dunia global. Bersama-sama dengan Singapura dan Thailand, Indonesia berada di baris terdepan dalam mengimplementasikan konsep-konsep yang telah disepakati. Keadaan ini diperkuat dengan optimisme Menteri Perdagangan RI Gita Wiryawan yang menyebutkan bahwa AEC ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan pendapatan per kapita. Dengan konsep Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar dalam perekonomian global bersaing dengan blok-blok integrasi lainnya di luar Asia. Tujuan utama dari 10 negara ini adalah meningkatkan perekonomian yang merata di samping mendapatkan kemudahan akses ekonomi regional.
DAFTAR PUSTAKA
http://fmeindonesia.wordpress.com/2013/03/ diakses pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/162082739.pdf diakses pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013
http://www.bi.go.id/biweb/resources/gerai_info/index.html#/Gerai%20Info%2028/0 diakses pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013
http://www.jurnas.com/halaman/10/2011-11-19/189568 diakses pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/1994/7tahun~1994UU.HTM diakses pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar