TUGAS PAPER EKONOMI INTERNASIONAL
“
HAMBATAN TARIF DAN NON-TARIF TERHADAP PERDAGANGAN
INTERNASIONAL DI INDONESIA “
OLEH :
JURUSAN
AGRIBISNIS
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
INDRALAYA
2013
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perdagangan
bebas artinya tidak adanya campur tangan dari pemerintah yang menghambat
kegiatan perdagangan baik yang dilakukan oleh antar individu maupun antar
perusahaan-perusahaan yang ada di dalam negara-negara. Dengan adanya sistem
perdagangan bebas ini maka perdagangan antar negara tidak lagi disulitkan oleh
urusan birokrasi. Dibentuknya perdagangan bebas ialah untuk meningkatkan kerjasama
di bidang ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan negara. Dengan adanya
perdagangan bebas diharapkan negara-negara dapat dengan mudah melakukan
kegiatan ekonominya. Ide membentuk perdagangan bebas ini ialah karena seringnya
perdagangan internasional terhambat oleh masalah pajak, berbagai biaya
tambahan, dan masih banyak hambatan-hambatan lainnya.
Manfaat
dari perdagangan bebas yang dapat dilihat secara langsung ialah keberagaman
barang-barang yang tersedia. Dengan adanya barang-barang yang beragam diharapkan
rakyat akan sejahtera karena akan mempunyai banyak pilihan produk-produk
terbaik yang mereka butuhkan. John Stuart Mill berpendapat bahwa
perdagangan bebas memperbesar dan memperluas cakupan pasar, dan karena itu
produktivitas pun meningkat. Dengan meningkatnya produktivitas, meningkat pula
standar hidup warga sebuah negara. Namun diantara manfaat-manfaat
tersebut, kehadiran pasar bebas justru menyulitkan bagi beberapa negara
terutama negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang biasanya sulit bersaing
untuk menghasilkan produk-produk yang berkualitas dengan negara-negara yang
lebih maju. Selain itu negara-negara berkembang juga kesulitan dalam masalah
persaingan harga. Padahal perdagangan bebas harusnya dapat meningkatkan daya
saing tiap-tiap negara. Hal ini terlihat seperti tidak adanya kesiapan dari
negara-negara berkembang dalam rangka menghadapi tren pasar bebas. Oleh karena
hal tersebut penulis merasa tertarik untuk meneliti mengapa perdagangan bebas
terlihat seperti tidak mencapai tujuannya dan mengapa beberapa negara terutama
negara berkembang seperti disulitkan dengan adanya perdagangan bebas ini.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa konsep perdagangan bebas tidak selalu
baik. Dalam sistem perdagangan bebas, negara yang memiliki modal yang kuat dan
memiliki kekuatan politik yang besarlah yang dapat menang dalam persaingan di
zona perdagangan bebas tersebut. Bisa saja kita katakan bahwa perdagangan bebas
belum mencapai tujuannya. Tidak ada Win-win Potition melainkanZero
Sum Game, dimana perdagangan bebas hanya memberikan keuntungan bagi
salah satu pihak saja sementara pihak-pihak lainnya mendapatkan kerugian.
Pada
sekitar tahun 1990an negara-negara di kawasan Asia Pasifik awalnya menyambut
baik kehadiran perdagangan bebas hingga akhirnya melahirkan Asean Free
Trade Area (AFTA) dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC).
Namun ternyata banyak negara anggota yang mengalami kesulitan dengan adanya
perdagangan bebas ini seperti kesulitan masalah neraca pembayaran (catatan yang
berisi pembayaran dan penerimaan dari luar negeri) sehingga mulailah
negara-negara tersebut mengurangi impor. Dengan adanya pembatasan impor ini
artinya negara telah menentang prinsip perdagangan bebas demi kepentingan
nasional.
Pada
tanggal 28 Februari 2009 lalu bersama sejumlah menteri Perdagangan ASEAN,
Australia dan New Zaeland, Indonesia telah menandatangani Persetujuan
Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru, atau AANZ-FTA (Asean,
Australia, New Zealand Free Trade Area). Padahal jika dianalisis perjanjian
ini justru akan merugikan bagi Indonesia. Sebab sebelum adanya perjanjian ini,
neraca perdagangan (catatan yang berisi nilai barang-barang yang diekspor
maupun diimpor oleh suatu negara) non migas Indonesia, baik dengan Australia
maupun dengan New Zealand itu selalu negatif. Artinya tanpa perdagangan
bebas pun Indonesia lebih banyak mengimpor barang dari kedua negara tersebut.
Jika tarif diturunkan menjadi nol persen maka dapat dipastikan ketergantungan
pada impor akan semakin tinggi. Akibat lain dari perjanjian tersebut ialah
sektor industri pertanian yang saat ini sedang tidak cukup kuat kedudukannya
akibat maraknya produk-produk impor akan semakin terpuruk akan hal tersebut.
Hal di
atas merupakan beberapa contoh bukti bahwa perdagangan bebas sebenanya tidak
dapat menimbulkan kesejahteraan di antara negara-negara melainkan menimbulkan
kesulitan bahkan keterpurukan. Apalagi bagi negara-negara berkembang. Dengan
adanya perdagangan bebas, negara-negara yang maju akan dapat mengeksploitasi
negara-negara berkembang dengan lebih mudah. Negara-negara maju juga dapat
merusak industri lokal negara berkembang, dan juga membatasi standar kerja dan
standar sosial. Tentu saja ini merupakan kerugian besar bagi negara berkembang.
Selain
itu perdagangan bebas juga menyebabkan lebih kepada dependensi ketimbang
interdependensi. Negara-negara maju sudah pasti dapat menghasilkan
produk-produk dengan kualitas yang baik yang tidak dapat diproduksi oleh
negara-negara berkembang. Seperti Jepang dengan produk sepeda motor atau
mobilnya. Negara berkembang seperti Indonesia yang belum mampu menghasilkan
produk sepeda motor atau mobil yang kualitasnya baik dan terkenal sebagaimana
yang telah dihasilkan oleh Jepang, tentu hanya akan puas menjadi konsumen dan
pada akhirnya menjadi negara yang konsumtif. Disini tampak contoh bagaimana
bergantungnya negara berkembang dengan negara maju.
Dampak
buruk dari perdagangan bebas yang lain adalah banyaknya masyarakat yang
lebih memilih produk buatan luar negeri ketimbang produk hasil dari negaranya
sendiri. Ini sangat merugikan dan dapat menyebabkan pengusaha-pengusaha lokal
mengalami kesulitan jika tidak pandai-pandai bersaing dalam zona perdagangan
bebas tersebut. Lihat saja pada saat sekarang ini kita akan dapat dengan mudah
menemukan barang-barang bertuliskan “Made in China”, di pusat
perbelanjaan, pasar, atau di rumah kita masing-masing.
Jika
pasar dalam negeri lebih diramaikan oleh barang-barang hasil dari luar negeri
apalagi dengan produk yang lebih berkualitas dan harga murah maka produsen akan
terdorong untuk beralih profesi menjadi importir atau pedagang saja misalnya
karena merasa tidak mampu bersaing. Hal ini akan membuat negara-negara tidak
akan berkembang. Jika tidak dapat menghasilkan produk-produk sendiri negara
tidak akan mandiri dan terus bergantung pada negara lain yang lebih maju
sehingga ia sendiri tidak akan pernah maju.
Tidak
hanya itu. Sistem perdagangan bebas juga merugikan bagi industri-industri
kecil. Kembali lagi kepada ketidakmampuan dalam bersaing dengan industri-industri
yang lebih besar yang dapat menghasilkan produk dengan kualitas terjamin dan
harga yang terjangkau. Pasar tentu akan lebih memilih produk yang terbaik
dengan harga yang relatif murah. Jika industri-industri kecil tidak mampu
bersaing di arena perdagangan bebas maka dapat dipastikan industri-industri
tersebut akan tersingkir dan mengalami kepailitan. Hal ini bisa saja
menimbulkan masalah lain lagi seperti pengangguran.
Penjelasan-penjelasan
di atas semakin menekankan bahwa sistem perdagangan bebas tidak dapat
mensejahterakan masyarakat. Namun sebenarnya kerugian-kerugian dari adanya
perdagangan bebas tidak hanya dirasakan oleh negara-negara berkembang atau yang
berperekonomian lemah. Negara-negara maju juga turut merasakannya. Seperti
misalnya pendapatan devisa yang menurun. Selain itu jugajuga menimbulkan
persaingan serendah mungkin yang menyebabkan standar hidup dan keamanan yang
lebih rendah. Akan tetapi kerugian-kerugian yang dialami negara-negara maju ini
juga merupakan kerugian yang dialami negara-negara berkembang. Jadi tetap saja
negara berkembang lebih dirugikan sebab kerugian-kerugian yang dialami negara
maju tidaklah sebesar kerugian yang dialami oleh negara-negara berkembang.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa perdagangan bebas tidaklah membawa
kesejahteraan terutama bagi negara berkembang. Maka tidak salah jika kita
mengatakan bahwa sistem perdagangan bebas sampai hari ini belum mencapai
tujuannya.
B.Tujuan
Tujuan dari pembuatan paper kami adalah untuk
mengetahui apa efek dari berlakunya perdagangan bebas terhadap perekonomian
disuatu negara , apakah negara tersebut dapat menerima atau tidak ?, dan juga
apakah penerapan tarif dan nontarif terhadap barang dari perdagangan bebas
dapat melindungi dan memberi keuntunan terhadap negara yang di tuju atau negara
yang mengirim barang tersebut.
II. PEMBAHASAN
Perdagangan
bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan
(hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar
individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang
berbeda.
Perdagangan internasional sering
dibatasi oleh berbagai pajak negara,
biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor,
dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semuha
hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam
kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut
perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada
terciptanya pasar
bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering
dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.
Di Indonesia Hambatan perdagangan Internasional bertujuan
melindungi neraca pembayaran dan industri dalam negeri terhadap persaingan luar
negeri.
1.
Pengenaan tarif
Tarif adalah pajak
atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas-batas
territorial. Di indonesia tarif yang berlaku di
indonesia adalah Ditinjau dari aspek
asal komoditi, ada dua macam tariff, yakni tarif impor (import tariff), yakni
pajak yang dikenakan untuk setiap omoditi yang diimpor dari negara lain; dan
tarif ekspor (export tariff) yang merupakan pajak untuk suatu komoditi yang
diekspor.
Ditinjau
dari mekanisme penghitungannya, ada beberapa jenis tarif, yakni tarif spesifik,
gabungan, dan tarif ad valorem. Tarif ad valorem (ad valorem tariffs) adalah
pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai
barang-barang yang diimpor (misalnya, suatu negara memungut tarif 25 persen
atas nilai atau harga dari setiap barang yang diimpor). Sedangkan tarif
spesifik (specific tarif) dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang
diimpor (misalnya saja, pungutan tiga dolar untuk setiap barel minyak). Dan
yang terakhir, tarif campuran (compound tariff) adalah gabungan dari keduanya.
Di
Indonesia system tariff ini digunakan sebelum tahun 1991. Misalnya bea
masuk untuk: Semen
: Rp 3.000 per ton, Sepatu
: Rp 15.000 per pasang, Piring
: Rp 500 per lusin, dan sebagainya.
Jenis-jenis
tarif ditinjau dari aspek asal komoditi yaitu:
1.
Tarif impor (import
tariff), yaitu pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari
negara lain.
2.
Tarif ekspor (export
tariff), yaitu pajak untuk suatu komoditi yang diekspor.
A.
Tarif
impor
Tarif import adalah tarif yang diberlakukan terhadap
barang barang yang mauk ke negara Indonesia , biasanya tarif import ini cukup
tinggi supaya melindungi perusahaan – perusahaan dalam negri supaya tidak kalah
bersaing.
B.
Tarif
ekspor
Tarif
ekspor adalah tarif yag di berlakukan terhadap barang barang yang akan dikirim
ke negara lain, biasanya tarif ini sedikit supaya barang yag dikirm bisa cukup
banyak.
Tarif
dapat meningkatkan barang di negara pengimpor sehingga kalangan konsumen di
negara pengimpor secara relatif merugi, sedangkan para produsen di negara
pengimpor memperoleh keuntungan.Jadi tarif membawa biaya sekaligus manfaat.
Saat pemerintah mengenakan tarif sebesar 100% terhadap barang impor maka harga
barang X langsung mengalami kenaikan dari 1 dolar menjadi 2 dolar. Konsumsi
atas komoditi ini pun turun dari 70 unit menjadi 50 unit. Dalam waktu
bersamaan, produsen domestik meningkatkan produksinya dari 10 unit menjadi 20
unit. Impor turun dari 60 unit menjadi 30 unit dan pemerintah menerima
pemasukan sebesar 30 dolar dalam bentuk pajak impor. Hal ini menyebabkan
surplus konsumen mengalami penurunan sebesar 60 dolar dan peningkatan surplus
produsen sebesar 15 dolar. Dari total kerugian konsumen itu, 30 di antaranya
diterima oleh pemerintah dalam bentuk pajak impor, kemudian 15 dolar lainnya
diredistribusikan kepada para produsen barang X di dalam negeri dalam bentuk
kenaikan rente atau surplus produsen, 15 dolar sisanya merupakan biaya proteksi
(protection cost) atau biaya bobot mati (deadweight lost) yang merupakan bentuk
kerugian yang harus ditanggung oleh perekonomian negara bersangkutan.
Dampak
Pengenaan tarif
1.
Harga barang impor
menjadi lebih mahal
Hal
ini menyebabkan penurunan konsumsi oleh konsumen, produsen akan memproduksi
barang dimana biaya marjinal (marginal cost) sama dengan harga setelah tarif.
2.
Meredistribusikan
pendapatan dari konsumen domestik ke produsen domestik.
3.
Mereditribusikan pendapatan
dari sektor ekonomi yang sumber dayanya melimpah ke sektor lain yang sumber
dayanya kurang kompetitif.
Komponen
produksi dari biaya proteksi atau biaya bobot mati akan mengalami kenaikan
karena pemberlakuan tarif impor. Hal ini mengakibatkan adanya pengalihan sumber
daya dari sektor ekonomi yang sumber dayanya melimpah (komoditi yang biasa
diekspor) ke sektor lain yang sumber dayanya kurang kompetitif (komoditi yang
lebih menguntungkan jika diimpor dari negara lain).
4.
Dampak negatif tarif
berupa production distortion lost
Tarif
menyebabkan produsen domestik memproduksi terlalu banyak barang sehingga tidak
semuanya bisa dijual dengan harga yang menguntungkan
5.
Consumption distortion
loss yaitu menyebabkan konsumen mengonsumsi barang terlalu sedikit.
Dengan
adanya tarif, tingkat kesejahteraan negara yang bersangkutan menjadi lebih
rendah dibandingkan dengan kondisinya di masa perdagangan bebas.
Penurunan kesejahteraan bersumber dari dua sebab, yakni :
a.
Perekonomian tidak lagi
berproduksi pada titik yang memaksimumkan nilai pendapatan dan harga dunia
b.
Konsumen tidak dapat
lagi berkonsumsi pada kurva indiferen tertinggi yang memaksimumkan
kesejahteraan. Baik (a) maupun (b) diakibatkan oleh kenyataan bahwa konsumen
dan produsen domestik menghadapi harga yang berbeda dengan harga dunia.
Penurunan kesejahteraan (The Loss in Welfare) terjadi karena kegiatan produksi
yang tidak efisien. Hal ini merupakan kondisi (a) padanan keseimbangan umum
dari kerugian akibat piuh produksi (production distortion loss) yang telah
dijelaskan dalam pendekatan keseimbangan parsial dalam bab ini dan melambangkan
penurunan kesejahteraan sebagaiakibat dari konsumsi yang tidak efisien sehingga
ini juga merupakan (b) padanan dari kerugian akibat piuh konsumsi (Consumption
Distortion Loss)
Volume
Perdagangan mengalami kemerosotan dengan adanya tarif. Volume serta nilai-nilai
ekspor dan impor sama-sama turun segera setelah dilaksanakannya pengenaan tarif
itu dibandingkan dengan sebelumnya ketika perdagangan masih berlangsung secara
bebas.
Sekarang yang menjadi permasalahan tren adalah dimana
disaat kebijakan import itu sangan dibutuhkan sehingga membuat tarif bea import
dihapuskan , seperti contoh tarif import kedelai yang akhirnya dihapuskan
karena mereka mengetahui bahwa kalau tidak mengimport kedelai makan pengusaha
tahu tidak akan beroperasi lagi.
2. Hambatan Non-Tarif yang
diberlakukan Negara Indonesia
Pada
pengertian umumnya hambatan non-tarif adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea
masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat
perdagangan internasional. Tentu dalam mengikuti perdagangan dunia maupun ASEAN
khususnya Negara Indonesia perlu melakukan suatu proteksi untuk melindungi
produksi dalam negeri sehingga menyebabkan potensi perdagangan internasional
berkurang. Oleh karena itu, Indonesia memberlakukan kebijakan-kebijakan non
tariff sebagai hambatan mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional.
Berikut akan dibahas kebijakan-kebijakan yang dilakukan Indonesia dalam
menerapkan hambatan non tariff.
Hambatan non
tariff yang dilakukan Indonesia antara lain:
1. Pembatasan
impor
Pembatasan impor yang
diberlakukan Indonesia dapat dilihat pada pembatasan kuantitatif untuk impor
daging sapi ini diberlakukan sebagai bagian dari serangkaian langkah untuk
mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2014. Kuota untuk ternak hidup ini
ditetapkan setiap tahun, dan secara terpisah untuk daging sapi dalam kotak dan
didasarkan pada estimasi bandingan pasokan dengan kebutuhan. Kuota tersebut
dialokasikan oleh kementrian perdagangan kepada importer dalam dua tahapan enam
bulan: 1 januari – 30 Juni dan 1 Juli – 30 Desember, berdasarkan volume
historis. Kuota untuk ternak hidup secara sistematis telah dikurangi dari
401.000 kepala di tahun 2011 menjadi 283.000 pada tahun 2012 dan 267.000
ditahun 2013. Untuk daging sapi kotak, kuota juga telah berkurang dari 100.000
ton pada 2011 menjadi 34.000 ton di tahun 2012 dan 32.000 ton ditahun 2013. Ini
dihitung dalam berat total, total kuota berkurang dengan lebih dari 172.000 ton
di tahun 2011 menjadi sesuai rencana yakni 80.000 ton ditahun 2013
2. Peraturan
kesehatan dan karantina
Dalam kebijakan ini,
diberlakukan peryaratan impor untuk keamanan pangan, karantina, pembakuan dan
pembubuhan etiket termasuk sertikasi halal diberlakukan menjadi lebih ketat.
3. Peraturan
atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu
Kebijakan ini lebih
mengenak kepada impor. Impor pangan olahan mengharuskan baik registrasi produk
maupun izin impor dari departemen kesehatan. Demikian pula impor produk hewani
harus dengan persetujuan impor deptan yang disertai sertifikat halal dan
berasal dari fasilitas pengolahan yang telah diperiksa oleh deptan.
4. Penetapan
harga pabean
Di Indonesia, harga
pembelian minimum yang ditetapkan oleh BULOG untuk pembelian beras dan tebu di
penggilingan beras dan tebu. BULOG hanya dapat membeli beras dan tebu dari
petani pada saat harga pasar lebih rendah atau sama dengan harga pembelian
resmi pemerintah (Harga Pembelian Pemerintah).
5. Subsidi
dan insentif ekspor
Kebijakan berikutnya
adalah subsidi, subsidi seperti subsidi pupuk misalnya merupakan program utama
yang dipakai pemerintah untuk memberikan dukungan anggaran kepada sektor
pertanian. Subsidi dibayarkan kepada produsen pupuk yang wajib menjual pupuk
dengan harga yang disubsidi kepada petani yang memenuhi syarat: mereka yang
bertani atas lahan kurang dari 2 ha. Selain itu, subsidi benih juga merupaka
arus transfer anggaran sektor pertanian kedua terpenting. Petani beras, jagung,
kedelai dan gula adalah penerima bantuan utama tetapi beberapa subsidi semacam
ini juga disediakan untuk para produsen kopi, karet alam, minyak sawit dan
pisang.
6. Tariff classification
Pengklasifikasian
tariff ini termasuk peraturan bea cukai, seperti halnya tariff tunggal untuk
pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk-produk turunannya yang
terjadi pada tahun 2007, diganti dengan sistem variabel. Dibawah system yang
variabel, tarif pajak ekspor yang
berlaku disesuaikan setiap bulan dan ditentukan dengan skala yang berubah-ubah,
yang didasarkan pada harga internasional CPO di Rotterdam, pasar utama untuk
minyak nabati . harga naik apabila harga internasional CPO naik, dan ikut turun
apabila harga internasional turun. Hal ini diberlakukan untuk mengurangi
insentif untuk meningkatkan ekspor waktu harga internasional naik. CPO
dikenakan pajak yang lebih tinggi dari pada produk turunan, untuk mendorong
proses pengolahan lanjutan didalam negeri.
3.
Bagaimana Kesiapan Indonesia Dalam Menyambut MEA ?
AEC (ASEAN Economic Community) adalah bentuk integrasi
ekonomi ASEAN yang direncanakan akan tercapai pada tahun 2015 yang bertujuan
untuk menjadikan ASEAN daerah yang stabil, makmur, dan berkompetitif tinggi
dengan pembangunan ekonomi yang merata, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan
sosial-ekonomi. AEC memiliki empat pilar utama: 1) kawasan pasar tunggal dan basis
produksi; 2) daerah ekonomi berkompetitif tinggi; 3) daerah dengan pembangunan
ekonomi yang merata; dan 4) daerah yang terintegrasi penuh ke perekonomian
global.
Menurut
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, persiapan Indonesia menghadapi AEC 2015
sebesar 72% dimana posisi Indonesia sebagai Chair dalam ASEAN pada tahun
2011 ini berdampak sangat baik untuk menyongsong terealisasinya ASEAN Economic
Community dan hal ini membuat Indonesia masih memiliki andil dan peran yang
cukup besar dalam perekonomian ASEAN. Dari dalam negeri sendiri, Indonesia
telah berusaha untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara pemerintah pusat
dengan daerah, pengusaha besar dengan UKM dan peningkatan dalam beberapa sektor
yang mungkin masih harus didorong untuk meningkatkan daya saing. Hal ini
berarti Indonesia masih memiliki andil dan peran yang cukup besar dalam
perekonomian ASEAN.
Namun
disisi lainnya, ada juga yang bisa menjadi penghambat dalam peran indonesia di
ASEAN yaitu menurut penilaian beberapa institusi keuangan internasional, daya
saing ekonomi Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan Singapura, Malaysia dan
Thailand. Selain itu, percepatan investasi di Indonesia tertinggal bila
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Itu terjadi disebabkan buruknya infrasturuktur
ekonomi dan korupsi yang merupakan isu paling hangat di Indonesia dan juga
menjadi penyebab merosotnya kepercayaan para investor terhadap Indonesia.
Melihat
hal ini pemerintah tidak bisa menunda lagi untuk segera berbenah diri jika
tidak ingin menjadi sekedar pelengkap di AEC 2015. Masyarakat bisnis Indonesia
diharapkan mengikuti gerak, irama kegiatan diplomasi dan memanfaatkan peluang
yang sudah terbentuk ini. Peluang yang sudah terbuka ini harus segera
dimanfaatkan. Apabila kita terus menunda-nunda kita akan tertinggal karena
proses ini juga diikuti oleh negara lain dan hal ini terus berjalan. Yang kita
butuhkan sekarang dalam menghadapi AEC 2015 adalah menyelesaikan pekerjaan rumah
bersama-sama dan pemerintah perlu menyosialisasikan rencana aksi menghadapi
tantangan regional. Kerjasama antar negara menjadi tak ada artinya apabila
masyarakat tidak terlibat.
Meskipun
Indonesia mampu menjaga pertumbuhan ekonominya di angka 6% tapi ada beberapa
hal yang perlu diantisipasi dengan adanya AEC 2015 ini. Kita mulai
dari Elimination of Non-Tariff Barriers dan Single
Window. Tujuan dibentuknya AEC 2015 semata-mata untuk mengakomodasi
kepentingan negara-negara di kawasan ASEAN sedangkan perdagangan yang terjadi
antara Negara anggota ASEAN saat ini masih belum efektif dengan adanya non-
tariff barriers. Maka ASEAN perlu menerapkan peraturan bebas non-tariff
barriers. Selain itu, memaksimalkan pertumbuhan ekonomi ASEAN juga
dilakukan melalui kebijakan Single Window. Single Window adalah
standarisasi dari proses dan prosedur perdagangan yang meliputi
pengintegrasian data dan informasi perdagangan sehingga mengurangi waktu
dan biaya dalam bertransaksi. Melalui AEC 2015, kompetisi dan efisiensi dalam
perdagangan meningkatkan produk dan tenaga kerja asing akan lebih fleksibel
masuk ke tiap negara anggota ASEAN.
Antisipasi
terhadap AEC 2015 sangat diperlukan, terutama di bidang
pengembangan SDM, mengingat Elimination of Non-Tariff Barriers dan
Single Window mengakibatkan tenaga kerja dari luar negeri akan lebih
mudah bermigrasi ke Indonesia. Mereka (tenaga kerja asing) yang memiliki
keahlian di atas keahlian SDM Indonesia, tentu akan mendapat pekerjaan di
perusahaan yang ada di Indonesia. Sulit bagi kita bersaing dengan tenaga
kerja asing jika kita tidak memiliki skill yang memadahi yang akan mengakibatkan
pengangguran meningkat.
Indonesia
dalam KTT ASEAN ke-21 di Phnom Penh tahun 2012 ditunjuk sebagai motor penggerak
dalam mengintegrasikan kekuatan Asia Tenggara di dunia global. Bersama-sama
dengan Singapura dan Thailand, Indonesia berada di baris terdepan dalam
mengimplementasikan konsep-konsep yang telah disepakati. Keadaan ini diperkuat
dengan optimisme Menteri Perdagangan RI Gita Wiryawan yang menyebutkan bahwa
AEC ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan pendapatan per
kapita. Dengan konsep Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP)
diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar dalam perekonomian global bersaing
dengan blok-blok integrasi lainnya di luar Asia. Tujuan utama dari 10 negara
ini adalah meningkatkan perekonomian yang merata di samping mendapatkan
kemudahan akses ekonomi regional.
DAFTAR PUSTAKA
http://fmeindonesia.wordpress.com/2013/03/ diakses pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/162082739.pdf diakses pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013
http://www.bi.go.id/biweb/resources/gerai_info/index.html#/Gerai%20Info%2028/0 diakses pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013
http://www.jurnas.com/halaman/10/2011-11-19/189568 diakses pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/1994/7tahun~1994UU.HTM diakses pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar